Sumber
inspirasi : Lagu Michael Jackson – Man in The Mirror
Cermin
Foto oleh Min An dari Pexels |
Hari itu
merupakan hari yang sangat melelahkan, dengan setumpuk aktivitas di kantor dan
daftar tagihan bulanan yang harus dibayarkan, melengkapi penderitaan di hari
yang luar biasa ini. Ya, sekarang tanggal 24 Februari 2020. Senin, hari yang horor
bagi sebagian orang yang mempunyai jadwal rutinitas hariannya. Biasanya yang
terpengaruh dengan efek fear dari
hari ini adalah siswa sekolahan dan pekerja kantoran, termasuk diriku. Andai
saja semua permasalahan ini bisa menghilang seperti halnya jentikan jari Thanos
(salah satu karakter antagonis dari film Avenger – Endgame), hidup bakal lebih
mudah. Perandaian itu pun terbawa ke Pulau Mimpi, hanyut di dalamnya dan
menghilang.
Esoknya,
dengan baju hem biru yang sudah disetrika rapi plus aroma parfum
kispray yang khas, diawali dengan itu ku berangkat menuju tempat kerja. Rute yang
ku tempuh dari rumah menuju tempat kerja melewati pasar pagi yang setiap hari
buka dan sebuah jembatan kayu yang kecil. Ada sisi baik dan buruk dalam kondisi
seperti ini. Baiknya adalah aku bisa mengemil, beli sana beli sini, sambil
membawa motor ke tempat kerja. Sangat efektif bagi seorang diriku yang
terkadang tidak sempat sarapan pagi. Buruknya, aku harus melewati berbagai
macam bau-bauan yang ada. Aroma amis ikan, keringat penjual warung kopi yang
terkadang netes ke kopinya, nafas mulut di pagi hari sang penjual sayur. Jarak
yang sangat sempit antara jalan dengan pasar, membuat semuanya jelas di indera
penglihatan dan pendengaran. Saking jelasnya ku sampai baru tahu bahwa pintu
yang tulisannya DORONG di ****mart, ternyata bisa di TARIK.
Perjalanan
berlanjut terus sampai ku melewati jembatan kayu yang kecil. Disana ada seorang
nenek yang sambil menengadahkan tangannya, berharap iba orang-orang yang
melewati jembatan kecil tersebut. Baru kali ini ku melihat dirinya disana,
biasanya hanya Pak Ogah yang menunggu bayaran parkiran di pasar. Ku kerahkan
uang dua ribu yang ada disaku kepada nenek itu yang merupakan kembalian dari
beli bensin eceran, dan ku kasihkan kepadanya. Dia pun melihatku dan mendo’akanku,
agar selalu disehatkan badan, murah rezeki, dan panjang umur. Sebenarnya pada
saat itu aku ingin request, agar bisa
mendapatkan jodoh yang baik dan menikah di tahun ini. Tapi ku sadar diri. Memangnya
dengan dua ribu rupiah, bisa dapat apa ? Udah dikit, ribet lagi.
Permikiran
aneh terhenti saat melihat wajahnya. Kulit yang hitam legam, mata yang
berbinar-binar, tapi masih bisa tersenyum. Ku tidak mengerti apa, yang
membuatnya tersenyum pada saat itu. Apakah karena dua ribu rupiah ? atau Pak
Ogah yang disana cukup ganteng ? Ku tak mengerti. Diriku pun hanya membalasnya
dengan senyuman.
Kegiatan harian
dikantor pun dimulai. Cetak laporan, mengatur jadwal, membuat surat, dan pulpen
baru beli yang hilang
entah kemana, mengisi hampir setengah hari dari rutinitas harianku. Semuanya
berjalan seperti biasanya dan berakhir pada pukul empat sore.
Pulang
dengan tenaga yang sudah terkuras habis di tempat kerja, membangkitkan insting
liarku untuk memangsa sesuatu. Warung makan Pak Jojo menjadi mangsaku dan hanya
dengan sepuluh ribu rupiah, ku mendapatkan mangsa kesukaanku, nasi
goreng. Karena sudah tidak sabar, gas motor ku naikan menjadi 60km/jam agar
bisa cepat sampai ke rumah dan kembali turun ke 10 km/jam pada saat hendak
melewati jembatan kecil. Nenek itu masih disana dan tertidur diatas karpet
kardus usangnya. Hati ini
menjadi iba dan berhasil mengalahkan insting liarku. Ku letakan nasi goreng
yang baru saja ku beli disampingnya, perlahan-lahan, semoga tidak mengganggu
tidurnya. Setelah itu, ku seret motorku kira-kira 20 meter darinya dan baru
kembali ku naiki motorku dan pulang ke rumah.
Alhasil perut
pun menjadi lapar. Dirumah tidak ada nasi dan mau keluar sudah keburu capek. Mager.
Ku lihat diriku dicermin kamar dan berkata “hai pejuang rupiah, semangat yaa ? Ingat, Ibu mu
sudah umur 50 tahun dan masih belum bisa naik haji. Jadi jangan menyerah sampai
disini yaa ?” Kemudian ku
baringkan diriku diatas
kasur dan memikirkan, apa saja yang telah ku perbuat hari ini. Dari pagi hari
sampai sekarang, yang paling menarik di hari itu adalah si nenek. Ku berpikir,
bagaimana seorang renta seperti dirinya bisa ada di jalanan umum ? apakah dia
tidak memiliki anak yang peduli padanya ? kemana suaminya ? apakah dia tidak
memiliki sanak, keluarga, kerabat yang dekat ? bagaimana bisa mereka setega itu
pada dirinya ? ku yang baru mengenalnya pun telah memikirkannya. Bagaimana dengan
orang dekatnya, apakah mereka hanya abai begitu saja ? atau dirinya (nenek)
merupakan orang yang terbuang ?
Semua
pemikiran itu terus berjalan di kepalaku sampai pukul 23.30. Lelah dengan pemikiran yang tanpa
akhir, ku putuskan untuk mengakhirinya dengan tidur. Sebelum berangkat tidur,
ada poin kecil yang ku dapatkan dari pemikiran yang panjang ini, apakah aku
bisa membantunya dan mereka yang bernasib sama ? Ku tidak tahu. Perlahan
mata ini mulai menutup dan itu terjadi.
“Bisa iya, bisa engga” jawab suara misterius.
Sentak saja aku kembali bangun karena terkejut. Aku yakin
sekali, aku mendengar suara itu dengan jelas. Yang membuatku lebih terkejut
adalah, bagaimana suara itu bisa menjawab pertanyaan yang ada dipikiranku ? Ku
berdiri dan memberanikan diri, mencari siapa yang menjawab pertanyaanku.
Berjalan ke ruang tamu, ke dapur, ke kamar mandi, semua tempat di rumah sudah
kuperiksa tetapi tidak menemukan seorang pun. Ku yakin 1000 persen, dirumah
hanya ada aku dan aku seorang.
“Halo, ada orang di rumah ? ku membawa senjata. Jika kau maling
atau penjahat sejenisnya, lebih baik pergi sekarang baik-baik dan jangan pernah
kembali. Ini peringatan !” kataku.
Padahal saat itu yang ku pegang adalah gantungan kunci motor
yang berbentuk boneka pisang. Sungguh nekat tanpa batas dan kekonyolan yang
hakiki.
Beberapa kali aku mengulang-ulang kataku di rumahku sendiri.
Sempat berpikir untuk tinggalkan saja rumahnya, yang penting selamat. Tetapi kemudian
ku berpikir, “ini rumahku dan aku adalah raja ditempat ini. Beranikan !”
Ku urungkan niatku untuk meninggalkan rumah dan keheningan
sempat terjadi beberapa saat sampai akhirnya suara misterius itu kembali
menggaung.
“Disini, disini, disini. Ayo kemari..” jawab suara
misterius.
Seksama ku mendengarkan dan ku pastikan. Suara itu ada dikamarku
sendiri. Merinding bulu kuduk yang ada di tubuh karena aku mendengar suara
misterius itu dengan jelas. Sangat jelas. Dengan rasa takut bercampur dengan
rasa penasaran, ku memasuki ruang kamarku.
Ku amati seluruh bagian kamarku dan mencari dimana asal
suara itu. Suara itu pun kembali menjawab, “disini..”.
1000 persen ku yakin, suara itu berada tepat dibelakangku. Tepatnya
di posisi tergantungnya posisi cermin. Perlahan ku balikan badanku sembari membaca
berbagai macam do’a yang ku ketahui, bahkan do’a makan. Tepat 180 derajat,
setengah putaran, ku menatap cermin itu. Hanya aku yang ada di cermin itu. Kami
hanya bertatap-tatapan, aku dan bayanganku di cermin. Semua tampak wajar. Tidak
ada yang aneh di cermin itu. Ku balik cermin itu, mungkin saja ada seseorang
yang bersembunyi di balik tembok di belakang cermin. Tidak ada. Ku kembalikan
posisi cermin seperti semula dan..
“Sudah puas periksa-periksanya ? sekarang sudah tengah
malam. Jangan membuang-buang waktu yang tidak berguna, contohnya seperti ini. Membalik-balikan
cermin di tengah malam. Apa faedahnya coba ?” jawab diriku di dalam cermin.
Pada saat itu juga diriku terpaku. Seolah tidak percaya
dengan apa saja yang baru terjadi. Mungkin inilah rasa takut yang
sebenar-benarnya. Sebenar-benar rasa takut. Bahkan saking takutnya, untuk
bersuara pun tidak keluar. Mungkin ini adalah rasa takut tingkatan dewa.
Sosok di cermin itu adalah diriku, yang berbicara dan
memiliki gerakannya tersendiri di dalam dunia cermin. Logika diriku pada saat
itu hancur semua, tidak bisa memikirkan perihal what, who, why, where, when, and how (5W + 1H) pada peristiwa yang
ku hadapi sekarang.
“Siapa dirimu ? dan bagaimana kau mengetahui pertanyaan yang
ada di pikiranku ?” tanya diriku.
“Jawaban untuk dua pertanyaan itu adalah karena diriku
adalah kamu. Dan kamu adalah diriku.” Jawab sisi lain diriku.
“jadi, kau adalah diriku ?”
“ya, diriku adalah kau dan sebaliknya”
Keheningan kembali terjadi dan kami masih bertatapan untuk
beberapa saat hingga diriku teringat pertanyaan yang terlintas di kepalaku
sebelum tidur.
“mengapa jawabannya bisa iya bisa engga ?”
“semuanya tergantung pada dirimu. Jika kamu mau berusaha,
jawabannya iya. Jika kamu hanya bersikap simpati dan sebatas itu, ya ga bakalan merubah apa-apa dan
jawabannya adalah engga.”
“Kamu tidak usah sok sok-an peduli atau mengurus orang lain.
Peduli dengan orang lain itu penting, tapi lebih penting lagi dirimu. kamu membantu
kapal orang lain yang sedang tenggelam dengan menggunakan papan yang ada di perahumu
dan kamu masih di dalam perahumu. Alhasil apa ? kamu tenggelam..” lanjut sisi
lain diriku.
“bukankah bagus kalau kita bisa menolong orang lain ?
bukankah sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong menolong ? apa
salahnya menolong orang lain ? “ balas diriku.
“menolong orang lain itu tidak ada yang salah. Tapi ingat,
kamu itu juga makhluk individu. Ga hanya sosial. Ada saatnya kamu harus
memikirkan dirimu sendiri sebelum ke orang lain. Akan lebih baik lagi kalau
kamu bisa menyelamatkan keduanya. Dirimu dan orang lain” jawab sisi lain
diriku.
“hidup itu pilihan. Mana bisa memilih dua-duanya. Jarang sekali
ada kesempatan kita bisa memilih dua opsi pada saat yang bersamaan di dalam
hidup. Kau hanya hidup di dalam cermin. Bagaimana kau tahu kehidupan di dunia nyata ? Tidak
usah jauh-jauh dan begini saja, dari perumpaan kapal yang tenggelam yang baru kau
sampaikan. Bagaimana caranya agar keduanya bisa selamat ? Jawab !” tegas
diriku.
“Ajak dia naik ke kapal kamu, idiot ! atau kamu ke kapal
dia. Hidup itu bukan hanya tentang menekuni jalan itu itu saja. Makanya sampai
ada pepatah, banyak jalan menuju Roma. Hidup itu tentang bagaimana cara
menyelesaikan masalah dengan BERBAGAI CARA. Semua masalah ada jalan keluarnya. Tinggal
kamu aja yang mau berusaha atau tidak ! Semua permasalahan itu ada solusinya..”
Aku pun terdiam.
“Sama dengan kasus nenek yang kamu kasih makan. Seharusnya kamu
ga kelaparan kaya gini..”
Sontak aku pun menjawab, “Itu nenek perlu makan ! dia orang
ga mampu. Bagaimana sih kamu ?! lagi pula kelaparan kaya gini palingan sekali
aja seumur hidup..”.
“Nah kan ?! permasalahan-permasalahan kaya gini yang kamu
jawab dengan kalimat PALINGAN SEKALI SEUMUR HIDUP, nanti akan menular ke
permasalahan-permasalahan lain dalam hidup di masa mendatang. Sekali lagi ku
tegaskan. MEMBANTU ORANG LAIN ITU TIDAK SALAH, TAPI INGAT KAMU JUGA MAKHLUK
INDIVIDU YANG HARUS PEDULI DENGAN DIRIMU SENDIRI. Badan kamu ini punya hak atas
kamu, Pe A. Seharusnya bisa kan kaya gini, setelah ngasih makan ke nenek, kamu
beli lagi makanan untuk kamu ? itu cara pertama. Cara kedua dengan
memperhatikan pola hidup kamu sendiri. Kamu udah hidup 23 tahun dan sudah bekerja
selama 2 tahunan. Masa kamu engga tahu pola hidup kamu selama ini ?”
“Maksudnya ?” balas diriku.
“Maksudnya kamu tahu kan kapan waktunya habis beras, kapan
berangkat kapan pergi ke kantor, berapa banyak nasi yang harus dimasak per hari,
bahkan kapan pasta gigi habis kamu harus tahu ! Kalau kamu memperhatikan
hal-hal kecil seperti ini, aku jamin. Membantu orang lain dengan bantuan
sebesar atau sebanyak apa pun, tidak akan merugikan kamu. Paling tidak, tidak
akan berdampak terlalu besar kerugiannya. Bagusnya lagi, kebiasan ini jika
terus dilanjutkan, akan membentuk karakter yang bagus. See ? Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Hal-hal yang kamu
remehkan seperti tidak apa makan dan lain-lain dengan alasan PALINGAN KALI INI
SAJA. Pasti akan terulang lagi di masa depan kamu bakal berkata hal yang sama
lagi. Iya, gitu aja terus sampai kamu terkena sakit Magh..” jelas sisi lain
diriku.
“Kamu enak bicara seperti itu, pada faktanya pelaksanaannya
susah !” ketus diriku.
“Aku juga tahu, idiot ! seandainya mudah, aku ga bakalan
hidup di dunia cermin. Sudah di dunia nyata. Kamu yang di dunia nyata
seharusnya bersyukur di kasih hidup. Tinggal sedikit usaha saja lagi ditingkatkan.
Kalau ngga mau usaha, mati aja. Ga usah hidup. Hidup itu DIPERJUANGKAN !”
“Bacot kau, cermin !”
Tanganku pun melayang ke arah cermin dan pecah. Seketika itu
kepalaku sangat pusing. Pada saat itu, di dalam kerangka cermin yang telah
pecah, tiba-tiba saja terbuka sebuah portal. Gelap sekali portal itu. Bingung dengan
apa yang terjadi, diriku pun mundur perlahan. Belum sempat mengambil langkah
mundur ketiga, di dalam portal yang gelap itu tiba-tiba saja mengeluarkan
secercah cahaya. semakin terang dan semakin terang, sehingga sangat menyilaukan
mata dan..
Diriku terbangun. Seluruh tubuh dipenuhi dengan keringat
dingin. Aku pun berusaha mendudukan diriku. Aku masih di atas kasur, di kamarku.
Ku perhatikan cermin yang ada di kamar. Masih tergantung sempurna, tidak ada
retak atau pun rusak. Syukurlah, semuanya hanya mimpi. Tapi, seketika saja
perutku merasa sakit, sepertinya bakal diare. Setelah ku ingat-ingat ku baru menyadari
bahwa pada malam itu aku tidak makan apa-apa dan tidur agak larut. Kulihat jam
dinding. Ah, sudah pukul 3 pagi. Ku pikir masih terlalu pagi untuk mencari
makanan dan obat diare saat ini. Ku putuskan untuk kembali tidur sembari
memeluk perut.
Pukul 06.30, dengan baju tidur ku mencoba keluar rumah. Tak sempat
mandi. Karena ku pikir hari ini sebaiknya aku izin tidak hadir ke kantor karena
sakit. Langsung saja diriku menaiki motor dan pergi ke pasar, untuk membeli
bubur dan obat diare.
Bubur yang hangat dan obat diare sudah di dapatkan. Sebaiknya
aku kembali ke rumah untuk segera makan dan meminum obat agar penyakitnya tidak
semakin parah. Sebelum beranjak dari pasar, ku arahkan pandanganku ke jembatan
kayu yang kecil. Si nenek tidak ada disana. Hmm.. mungkin saja aku yang terlalu
pagi ke pasar.
Hari-hari pun berjalan seperti biasa setelahnya. Tidak ada
yang banyak berubah semenjak kejadian mimpi yang aneh berikut. Ada beberapa
yang ku jalankan, seperti membangun pola hidup yang baru agar lebih teratur. Ya,
aku merasa diriku lebih baik saat ini. Jika saja aku bisa bertemu lagi dengan
diriku yang lain di cermin itu, aku ingin meminta maaf kepadanya karena telah
menamparnya dan berterimakasih atas saran yang dia kasihkan. Aku memahami,
mungkin cara dia memberi nasihat agak aneh dan berkesan kasar. Tapi dia adalah
diriku dan seperti itu lah aku. Aku tertawa sendiri mengingat-ingat momen ini. Terimakasih.
Untuk nenek yang ku temui pada hari itu, sekarang tidak
terlihat lagi. Ku coba tanyakan kepada Pak Ogah yang biasa nongkrong di
jembatan itu perihal nenek tua ini, dia menjawab bahwa selama ini dia tidak
pernah melihat ada nenek-nenek disana. Penasaran, ku coba tanyakan kepada orang-orang
yang tinggal di sekitar jembatan itu dan jawabannya sama. Lalu, kepada siapakah
waktu itu aku berbicara ?
-END-